Usaha di seputar makanan memang masih menyimpan potensi yang cukup
besar. Bukan hanya menjual sajian yang siap dimakan, peluang juga
terbuka bagi produsen yang membuat bahan pendukung utama sajian
tersebut. Maklum, tidak semua pengusaha kuliner mampu menyiapkan sendiri
sejumlah bahan setengah jadi. Beberapa di antaranya, mengandalkan pihak
ketiga untuk memasok bahan-bahan itu dengan standar dan kriteria
tertentu.
Salah satunya, pengusaha kuliner yang menjual kebab. Mereka tidak
membuat sendiri tortilla, yang merupakan kulit pembungkus kebab. Dengan
alasan lebih praktis dan efisien, pemilik gerai kebab justrumemesannya
kepada produsen kulit kebab.
Lantas, dari sini, muncul peluang untuk membuat tortilla. Potensi
berbisnis tortilla juga makin lebar karena bahan baku yang terbuat dari
tepung terigu ini ternyata tidak hanya dipakai untuk membuat kebab.
Beberapa makanan asing, misalnya Meksiko dan India, juga membutuhkan
tortilla meski dengan rasa berbeda.
Di Indonesia, kebab dipopulerkan dengan kehadiran waralaba Kebab Baba
Rafi sekitar tahun 2000-an. Kepopuleran Kebab Baba Rafi pun menyulut
pengusaha kuliner lain untuk membuka gerai-gerai makanan yang menyajikan
kebab. Tak heran, permintaan bahan baku kebab, terutama tortilla, ini
tidak pernah sepi.
Vied Febriyanto, owner Tammarobah Food dari Surabaya, Jawa Timur,
mengatakan, setiap bulan gerai kebab selalu bertambah. Sejak merintis
usaha pembuatan tortilla pada 2004, orderan tortilla yang diterima Vied
selalu bertambah sekitar 50% saban tahun. “Peluang membuat tortilla ini
sangat menjanjikan karena kebutuhannya sangat banyak dan selalu
bertambah,” ujar pria berusia 34 tahun ini.
Selain itu, kata Vied, produsen tortilla masih sangat terbatas.
Hingga kini, setidaknya ada tiga pemain besar yang memproduksi tortilla
di Jawa Timur. Ketiga pemain besar ini bisa dibilang menguasai pasar
penjualan tortilla. Meski demikian, Vied juga bilang, pemain-pemain
kecil juga kian bermunculan beberapa tahun belakangan.
Hal serupa diungkapkan Adityo Lakseno, pemilik Artha Food di Pati,
Jawa Timur. Ia melihat potensi usaha pembuatan tortilla masih besar.
Apalagi, masih banyak daerah yang belum terjangkau oleh makanan khas
Timur Tengah ini. “Pemain baru masih banyak yang bermunculan,” terang
dia.
Adityo memulai bisnisnya sejak tahun lalu. Sebelumnya, ia memproduksi
roti bakar es krim. Akan tetapi, usaha itu tidak begitu berkembang.
Kemudian ia melihat usaha produksi tortilla lebih menjanjikan dan bukan
merupakan usaha musiman. “Sebenarnya saya terinspirasi oleh istri yang
beli kebab hampir tiap hari, jadi saya pikir kenapa tidak ganti usaha
produksi tortilla saja untuk bahan kebab,” tutur dia.
Berbeda dengan Adiyo, Vied mengawali usahanya dengan membuka gerai
kebab di Surabaya. Untuk menghemat ongkos produksi, ia pun membuat
sendiri semua bahan baku kebab. Dalam perkembangannya, ia justru lebih
fokus memproduksi bahan baku kebab, khususnya tortilla. Pada 2005, ia
memutuskan untuk tidak lagi mengelola gerai kebab dan berkonsentrasi
penuh untuk memproduksi bahan baku kebab.
Di Tammarobah Food, produksi tortilla bisa mencapai 80% dari
keseluruhan produksi bahan kebab. Pasalnya, Vied tidak hanya menjual
tortilla untuk kebab. Ia juga menjual tortilla pada pengusaha restoran
Meksiko dan India. Pembelinya sudah tersebar di seluruh pelosok
Indonesia. Namun Vied mengakui, permintaan tortilla masih menumpuk di
Pulau Jawa, khususnya Jakarta.
Permintaan tortilla di Jakarta mencapai 50% dari keseluruhan
penjualan tortilla di Tammarobah. Makanya, Vied mengklaim ia menguasai
70% kebutuhan tortilla di ibukota. Selanjutnya, permintaan terbanyak
juga datang dari Pulau Kalimantan dan Pulau Bali.
Setiap hari Vied memproduksi sekitar 1.200 pak tortilla. Tiap pak
berisi 20 lembar tortilla. Banderol harga berkisar Rp 15.000–Rp 30.000,
bergantung pada ukuran yang rentangnya antara 15 cm–30 cm. Omzet yang
didapat mencapai Rp 600 juta per bulan dengan laba bersih 10%.
Ada dua macam tortilla yang dijual, yakni tortilla krispi dan lentur
(lunak). Berbeda dengan produsen tortilla lain, Vied tidak hanya membuat
tortilla dengan rasa original yang asin dan gurih. Ia juga sanggup
memenuhi permintaan tortilla berbagai rasa, seperti pandan, stroberi,
dan zaitun.
Adapun Adityo hanya membuat tortilla krispi dan lentur dengan rasa
original. Ia membanderol tiap lembar tortilla seharga Rp 15.000–Rp
24.000. Ukurannya berkisar 15 cm–
30 cm. Adityo bilang, Artha Food bisa memproduksi 10.000 lembar tortilla
per bulan. Jadi dari bisnis ini ia mengantongi omzet sekitar Rp 200
juta–
Rp 300 juta saban bulan. Margin keuntungannya cukup menggiurkan, mencapai 45%.
Proses sederhana
Untuk menggeluti usaha pembuatan tortilla, tidak dibutuhkan keahlian
khusus. Pasalnya, pembuatan tortilla cukup sederhana dan tidak
membutuhkan teknologi yang canggih. Bahkan, pembuatan bisa dilakukan
dengan tangan manusia secara manual.
Hal pertama yang harus disiapkan tentu saja standar resep tortilla.
Vied bilang, untuk membuat tortilla, bahan yang dibutuhkan meliputi
tepung terigu berprotein tinggi, minyak sayur, dan garam. Semuanya bisa
dibeli di dalam negeri.
Selain itu, Vied juga menggunakan substitusi susu yang ia impor dari
Selandia Baru. Vied menyarankan agar tidak menggunakan susu lokal karena
akan merusak tekstur dan rasa. “Walaupun yang dipakai susu lokal dengan
kualitas nomor satu, tetap saja menurut saya tidak akan mendapat hasil
maksimal,” tegas Vied yang pernah menuntut ilmu di Amerika Serikat dan
bertanya pada sejumlah chef asal Meksiko soal resep tortilla.
Ketika merintis usaha, Vied belum menggunakan mesin pencetak
tortilla. Jadi semua proses pembuatan dilakukan secara manual. Karena
hanya memperkerjakan tiga orang karyawan, Vied hanya keluar modal
sebesar Rp 500.000. Produksinya juga belum banyak, hanya puluhan pak
tortilla.
Lantaran permintaan tortilla terus bertambah, Vied lantas membeli
mesin pembuat tortilla dari Taiwan. Mesin ini bisa memproduksi 300 pak
tortilla dalam kurun waktu tujuh jam. Sementara, tiap karyawan hanya
mampu membuat 25 pak tortilla per hari.
Dengan karyawan sebanyak 100 orang, pengeluaran terbesar Vied ada
pada pembayaran gaji karyawan. Adapun belanja terbesar ada pada bahan
baku, yakni sekitar 30%, menyusul pembayaran listrik dan perawatan
mesin.
Di sisi lain, Adityo menggunakan produk lokal untuk bahan baku
pembuatan tortilla. Akan tetapi, seluruh pembuatan tortilla sudah
menggunakan mesin. Setelah dicampur menggunakan mikser berukuran besar,
adonan dipisahkan menggunakan dough sheeter. Hasilnya berupa bola-bola
kecil adonan. Selanjutnya, adonan tersebut dimasukkan dalam mesin yang
akan mencetak tortilla menjadi pipih dan melingkar.
Tak main-main, Adityo mengimpor mesin pencetak tortilla sampai ke
Amerika Serikat. Menurut dia, mesin buatan Negeri Paman Sam itu memiliki
kualitas yang unggul. Dalam satu jam, mesin tersebut bisa memproduksi
hingga 1.000 lembar tortilla.
Makanya Adityo bilang, modal yang dikeluarkan untuk merintis usaha
pembuatan tortilla cukup mahal. Ia merogoh kocek cukup dalam, yakni
sekitar Rp 500 juta. Selain untuk membeli peralatan, modal itu juga
digunakan untuk menyewa pabrik dan membayar gaji karyawan. Kini,
karyawan Adityo berjumlah 17 orang. “Saya sengaja bikin pabrik di Pati
supaya biaya sewa tempat dan gaji karyawan belum terlalu mahal,” ucap
dia.
Akan tetapi, Adityo tidak menampik bahwa usaha ini bisa dimulai
dengan modal irit. Asal proses pembuatan dilakukan secara manual.
Pasalnya, mesin pencetak tortilla cukup mahal.
Adityo juga bilang, rasa tortilla yang diproses dengan mesin atau
manual tidak jauh berbeda. “Perbedaan hanya ada pada hasil cetakan
karena yang namanya tenaga manusia, tingkat kesalahannya lebih tinggi,”
katanya. Selain itu, pembuatan dengan mesin bisa menghasilkan tortilla
dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Bentuk dan ukuran tortilla pun
lebih seragam.
Selanjutnya untuk strategi pemasaran, Vied dan Adityo mengandalkan
penjualan via internet. Selain membuat website, Adityo juga rajin
mempromosikan produknya melalui jejarin media sosial, seperti Facebook
dan Twitter.
Vied menambahkan, pengiriman tortilla juga harus jadi bahan
perhatian. Sebelum dikirim, tortilla dimasukkan dalam freezer selama dua
hari. Jadi ketika dikirimkan, tortilla ada dalam kondisi beku. Dengan
demikian, tortilla tahan selama tiga hari di luar freezer. Ketika sampai
di tangan pembeli, tortilla harus kembali didinginkan dalam freezer
agar bisa tahan sampai enam bulan.
Sementara Adityo memilih jasa ekspedisi yang menjamin tortilla bisa
sampai ke tangan pembeli dalam sehari. Pasalnya, tortilla buatannya
hanya tahan dua hari di luar freezer. Jika sudah sampai, tortilla juga
harus dibekukan dalam freezer sehingga bisa bertahan selama tiga bulan.
Siap mencoba?
Sumber : kontan.co.id
http://cara-buat-website.com/