Friday, December 26, 2014

Wijaya bertemu toner saat krisis moneter

Bagi jagat bisnis, krisis sejatinya memainkan dua peran. Ia bisa menyapu usaha yang sudah ada, tapi juga bisa menciptakan bisnis baru. Wijaya Tanius, pemilik Newton Technology, sudah membuktikannya. Usaha yang didefinisikan Wijaya sebagai office print solution itu berawal dari krisis di 1997–1998.
Saat nilai tukar dollar melambung, harga cartridge printer melambung. Wijaya yang ketika itu berbisnis perdagangan alat tulis kantor (ATK) merasakan langsung sulitnya memutar modal ketika harga melambung tinggi. “Memang, untung menjual cartridge besar. Tapi, begitu mau menyetok lagi, modalnya kurang,” ujar dia.

Dampak lain meroketnya harga cartridge adalah merebaknya barang palsu. “Kasihan konsumen, sudah membayar mahal, tapi dapatnya barang palsu,” kata dia.
Perubahan yang terjadi di pasar toner printer waktu itu menggelitik Wijaya. Di satu sisi, kebutuhan akan toner printer masih tinggi. Di sisi lain, banyak konsumen tak sanggup membeli toner asli yang mahal.
Ia pun tergelitik mencari jalan tengah. Dari seorang teknisi printer, Wijaya mendapat informasi tentang teknik mengisi ulang cartridge printer dengan tinta. Pria kelahiran 17 Agustus 1969 ini pun meminta si teknisi tersebut mengajarinya cara mengisi ulang toner.

Untuk memuaskan rasa ingin tahunya seputar teknologi refill cartridge, Wijaya berselancar di dunia maya. “Saya jadi tahu kalau bisnis ini cukup prospektif di Amerika,” ujar dia.
Pada 2001, pria 45 tahun ini mantap menerjuni bisnis refill tinta printer. Lantaran ingin fokus, Wijaya menyetop usaha berdagang ATK, yang sudah dijalani sekitar 3 tahun–4 tahun.
Jika saat merintis bisnis ATK, Wijaya mendapat pinjaman dari orangtua, maka ketika memulai usaha refill tinta untuk printer ia menggunakan tabungan


sendiri. “Nilainya sekitar Rp 100 juta,” ujar pria yang lahir di Pekanbaru, Riau ini.
Keberanian berputar haluan ini terbentuk dari perjalanan hidup Wijaya. Kendati lahir di keluarga yang akrab dengan dunia bisnis, Wijaya tak lantas berleha-leha. Sejak SMA, ia tinggal di Bandung, terpisah dari kedua orangtuanya yang memiliki toko emas di Padang. Kebiasaan hidup mandiri membuatnya berani memutuskan untuk merintis bisnis sendiri saat masih menempuh pendidikan di universitas. Usaha ATK itu bisnis pertama Wijaya.

Begitu mantap berpindah haluan, Wijaya membuka workshop dan kantor pemasaran untuk bisnis tinta refill di kawasan Kelapa Gading. Ketika merintis bisnis barunya, Wijaya mengajak 10 karyawan yang membantunya di usaha perdagangan ATK.

Wijaya sengaja memasang merek, yaitu Newton, untuk tinta refill buatannya. Penggunaan merek merupakan strategi Wijaya untuk bersaing dengan barang palsu. “Saya pikir konsumen akan memilih Newton karena jelas perusahaannya, ada layanan purnajual, dan back-up printer,” terang dia.
Sedari awal pula, Wijaya mengincar pasar korporasi. Selama berbisnis ATK, dia melihat tingginya permintaan toner dari konsumen perkantoran. Sebagai produk alternatif cartridge orisinal, respons yang diterima Newton cukup baik.

Bangun brand
Dua tahun menjalani bisnis toner refill, Wijaya tersadar harga murah saja belum cukup memuaskan konsumen. Newton harus berinovasi demi meningkatkan kualitas produknya. Ayah dari dua orang anak ini mengembangkan produknya, dari refill toner menjadi remanufacturing toner.
Bisnis Wijaya tak lagi mengisi ulang, melainkan mengisi tinta plus mengganti suku cadang cartridge. “Jadi, kami memproduksi ulang dan hanya memakai cangkang dari produk orisinal,” terang Wijaya.

Dalam berproduksi, Wijaya tak kesulitan mendapatkan bahan baku. “Ada supplier yang datang. Saya juga mencari dari koran,” kata dia. Sementara itu, spare part dan tinta toner masih ia impor dari sejumlah negara, seperti Korea Selatan, China, dan Amerika Serikat.
Melengkapi posisinya sebagai produsen remanufacturing toner, Newton menawarkan berbagai jasa layanan lain ke pelanggan, seperti penyewaan unit printer. Ada juga aneka promo yang disiapkan bagi pelanggan. Wijaya menyadari pentingnya menjaga pelanggan karena di bisnis tinta, permintaan terus berulang. “Kualitas dan kecepatan menjadi pedoman kami,” kata Wijaya.

Hasilnya? Klien Newton terus bertambah. Sebutlah Perusahaan-perusahaan besar: Mitra Adi Perkasa, Grup Astra, Bank Mandiri, BNI, dan B Braun.
Roda bisnis Newton pun lancar berputar. Wijaya sempat menikmatinya. Hingga suatu saat, ia menyadari usahanya seakan berjalan di tempat. Newton seakan menemui jalan buntu dalam perjalanan bisnisnya.  Maklum, dia tak menemukan perusahaan sejenis yang bisa menjadi role model  di Indonesia. “Sementara kami justru diikuti perusahaan lain,” kata Wijaya.
Setelah rembukan bersama sang istri, yang juga menjadi mitranya mengelola Newton, Wijaya pun rajin menimba masukan dari aneka seminar bisnis. “Kami akhirnya mendapat insight untuk bermimpi yang lebih besar, yaitu membangun brand,” kata pria yang hobi membaca buku ini.

Nah, untuk misi ini, Wijaya merasa tak cuma dengan autodidak. Ia merekrut konsultan, “Yang berperan sebagai penengah dan pemberi arah, ketika ada kebuntuan,” kata dia.
Setelah mencetak penjualan toner remanufacturing sebanyak 4.000 unit per bulan, Newton pun memperluas misi usahanya, yaitu office print solution. Produk dan jasa yang ditawarkan mulai servis, rental hingga jasa print bagi perusahaan yang tarifnya dihitung per lembar kertas.
Demi kepuasan konsumen pula, Newton membuka depo-depo, yang lebih dekat dengan konsumennya, seperti  di kawasan perkantoran.  

Berbagi peran dengan istri
Kepercayaan konsumen menjadi kunci penting bagi bisnis Newton Technology, karena permintaan yang terus berulang. Itulah sebabnya, untuk menangani pelanggan yang terus bertambah, Wijaya Tanius mengajak sang istri, Veronica Wijaya, ikut terjun ke bisnisnya.
Mereka pun berbagi peran. Wijaya yang terlihat lebih pendiam, lebih banyak mengurus hal-hal teknis di Newton Technology, termasuk urusan produksi dan pengembangan bisnis. Sementara itu, sang istri lebih aktif mengurus agenda pemasaran dan kegiatan customer care Newton. “Istri saya yang mengejar tim teknisi dan customer care, agar setiap keluhan pelanggan bisa tuntas dan beres,” kata Wijaya.

Meski keluhan-keluhan yang diterima hanya berupa hal-hal kecil, seperti printer macet atau minta printer dibersihkan, Wijaya terus menjaga komitmen untuk tidak mengecewakan pelanggan. “Kalau mereka kecewa, mereka bisa dengan gampang beli di tempat lain,” kata dia beralasan.
Selain mengurus pemasaran, Veronica juga mengambil kendali di bagian sumber daya manusia dan operasional. “Sejak awal pembagiannya memang begitu,” kata Wijaya yang bertemu Veronica di Jakarta ini.
Tentu, bermitra usaha dengan pasangan hidup, ada plus minusnya. Nilai lebihnya, kata Veronica, komunikasi di antara mereka menjadi lebih lancar. Mereka berdua pun saling mengisi dan melengkapi.

Untuk menjalin komunikasi yang lancar itu, masing-masing harus pandai-pandai melihat kondisi. “Kalau kondisi badan terlalu capek, jangan membicarakan hal-hal yang memancing konflik tentang pekerjaan di rumah,” papar dia.
Jika ada masalah di usaha, sebaiknya ada orang ketiga yang menjadi mentor. Mereka mengakui, setelah menggunakan konsultan, koordinasi kerja semakin baik.   

Sumber : kontan.co.id
http://belajar-cara-membuat-website.blogspot.com/

0 comments:

Post a Comment