Seiring pesatnya pertumbuhan usaha kuliner, permintaan kemasan
makanan terus mengalir. Prospeknya pun masih cerah pada tahun-tahun
mendatang. Kalau tertarik, Anda kudu bermodal gede untuk membangun
pabrik.
Kemasan menjadi unsur penting dalam sebuah produk. Pembungkus yang
cantik dan unik, bisa mempengaruhi konsumen untuh menjatuhkan pilihan
pada sebuah produk. Nilai jual pun bisa terdongkrak berkat kemasan.
Tak terkecuali pada produk kuliner. Bukan cuma sebagai pembungkus,
kemasan bisa mengangkat citra sebuah produk kuliner. Sebab, pada
kemasan, produsen bisa mencantumkan berbagai informasi, bahkan menjadi
salah satu media promosi yang efektif.
Perkembangan usaha kuliner ikut membawa berkah bagi produsen kemasan,
khususnya kemasan makanan. Apalagi, saat ini, makin banyak orang peduli
akan gaya hidup sehat. Mereka pun menginginkan kemasan yang tak
menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Kemasan kertas pun banyak
dipakai oleh pengusaha kuliner, terutama mereka yang menyajikan jenis
masakan siap saji.
Melihat potensi yang cukup besar pada usaha ini, Stanliy Hardjo
menerima ajakan menjadi produsen kemasan. Sebelumnya, pria 42 tahun ini
memang bekerja di perusahaan percetakan yang memproduksi kemasan.
"Setelah sang owner melihat kemampuan saya, dia menawari saya
untuk membuka usaha sendiri dan mengizinkan saya untuk membawa klien di
perusahaan lama," kenang Stanliy.
Pada tahun 2002, dia mulai merintis Sinar Rejeki Printing Jaya.
Dengan modal order yang berasal dari klien di perusahaan lama, Stanly
membangun pabrik di kawasan Dadap, Tangerang. "Tapi, saya merintis usaha
ini dari kecil," terang dia.
Sinar Rejeki Printing memproduksi sejumlah kemasan. Selain kemasan
untuk makanan, perusahan juga membuat kemasan untuk berbagai produk,
seperti fashion. Namun, yang paling besar adalah kemasan untuk makanan.
"Hampir 80% kemasan yang kami produksi merupakan kemasan untuk makanan,"
ujar Stanliy.
Kemasan untuk makanan sendiri tersedia dalam jenis food grade dan non food grade. Kemasan food grade biasanya disebut bila kertas bahan baku kemasan tersebut tidak tembus air maupun minyak. "Karton putih dan ivory sudah bisa disebut food grade,"
jelas dia. Namun, biasanya, konsumen masih menginginkan pelapis lain
sehingga makanan yang disimpan dalam kemasan tak rusak atau kemasan tak
bocor.
Contoh kemasan makanan yang non food grade karton karton putih dengan
warna abu-abu di baliknya. Oleh karena itu, biasanya, pengusaha kuliner
yang menggunakan kemasan non food grade ini akan menambahkan kertas,
daun atau plastik, sebelum mewadahi makanannya. "Kemasan seperti ini
banyak dipakai untuk martabak," kata Stanliy.
Tentu saja, harga kemasan food grade lebih mahal. Stanliy menyebut
harga kemasan jenis ini lebih mahal sekitar 30%. Meski begitu, para
pelaku usaha kuliner cenderung menyukai jenis food grade.
Dalam sebulan, Sinar Rejeki Printing bisa memproduksi puluhan ribu
hingga ratusan ribu lembar kemasan. Harga jual rata-rata kemasan
tersebut berkisar Rp 1.000. "Tergantung ukuran, jumlah order, dan
ketebalan kertas," kata Stanliy. Dia pernah menerima pesanan dengan
harga Rp 25.000 per piece lantaran ukurannya besar.
Dia yakin prospek bisnis kemasan masih cerah, karena dunia kuliner
terus berkembang. Saban tahun, order yang datang ke Sinar Rejeki
Printing pun terus bertambah. Kini Stanliy mempekerjakan sekitar 30
orang di pabriknya.
Bukan cuma dari Jakarta, order yang datang ke Sinar Rejeki Printing
juga datang dari luar Jawa, seperti Pontianak, Manado, dan berbagai kota
besar lainnya. "Padahal, saya tak pernah promosi," ujar Stanliy.
Permintaan kemasan yang terus meningkat juga dirasakan Rico Arizona,
pemilik Riscopack. Malah, menurut dia, order kemasan makanan sudah
menanjak sejak 1989. Bahkan, dia pernah mengecap angka pertumbuhan
mencapai 40% per tahun. "Usaha ini tak pernah mati selama masih ada
produk yang harus dikemas," ujar Rico.
Sama seperti Sinar Rejeki Printing, Riscopack yang berbasis di
Surabaya tidak cuma melayani pemesanan kemasan makanan, tetapi juga
kemasan lain. Namun order terbesar Riscopack saat ini datang dari
pebisnis kuliner. "Komposisi produksi kami, 80% untuk kemasan makanan,
20% untuk kemasan lain," ujar Rico. Dia menjual kemasan mulai dari harga
Rp 400 hingga Rp 6.000 per lembar. Kapasitas produksi percetakan ini
mencapai puluhan ribu per bulan.
Kunci sukses bukan cuma modal
Untuk terjun di usaha ini, bukan cuma modal duit yang diperlukan.
Stanliy menuturkan, calon pengusaha harus benar-benar memiliki pemahaman
soal bisnis percetakan, kemasan, serta target pasar yang akan dibidik.
Segendang sepenarian, Risco pun memberi syarat bagi pengusaha yang
ingin terjun dalam usaha ini harus paham bisnis kemasan. Sebab, layaknya
bisnis percetakan, volume memegang peran penting dalam bisnis ini. Dia
menyarankan, agar pengusaha menjaring calon pelanggan terlebih dahulu,
sebelum fokus ke usaha pembuatan kemasan makanan.
Modal order pula yang menjadi kekuatan Stanliy ketika membangun
bisnis kemasan makanan 12 tahun silam. Dalam bisnisnya, Stanliy memilah
order menjadi dua jenis. Yakni, order berdasarkan kontrak dan order
biasa.
Untuk order yang bersifat kontrak, dia menetapkan masa kontrak
minimal selama enam bulan. Stanliy pun akan menyediakan stok kemasan
minimal untuk kebutuhan satu bulan di gudangnya.
Adapun order di luar kontrak, dia tetapkan dengan ketentuan minimal
order sebanyak 5.000 pieces. Pada order jenis ini, dia tetap menyediakan
stok tapi dengan jumlah yang terbatas.
Selain order, modal lain adalah kepercayaan. "Terutama kepercayaan
dari pabrik kertas," kata Stanliy. Maklum, kertas yang menjadi bahan
baku utama usaha ini menyedot biaya yang besar.
Sejatinya, untuk memulai tidak harus bermodal dana besar atau bahkan
tanpa modal. Sebab, untuk menjaring konsumen, Anda bisa mencari rekanan
percetakan. Stanliy sendiri menawarkan kesempatan bagi calon pengusaha
yang ingin terjun ke bisnis kemasan dengan bergabung di perusahaannya.
"Mereka bisa ikut menanam modal ke Sinar Printing sambil belajar soal
bisnis dan produksi," kata dia.
Maklum, usaha pembuatan kemasan makanan ini juga memasang syarat
pemahaman tentang produksi. Pada proses ini, kunci yang harus dikuasai
adalah pengetahuan tentang mesin cetak. Asal tahu saja, bagian terbesar
modal akan tersedot untuk pengadaan mesin.
Nah, ada tiga jenis mesin yang mutlak ada untuk membuat kemasan
makanan. Masing-masing adalah mesin cetak, mesin pemotong, dan mesin
lem. Untuk ketiga jenis mesin itu, Anda mempunyai dua pilihan:
menggunakan mesin baru atau mesin bekas.
Stanliy menyebut harga mesin ini lumayan mahal. "Harga sebuah mesin
cetak baru buatan Jerman bisa mencapai Rp 3 miliar," ujar dia. Sinar
Rejeki menggunakan mesin-mesin ini karena kualitasnya benar-benar
teruji.
Mesin sejenis yang dibuat di China harganya berkisar Rp 800 juta.
Harga mesin lem buatan China berkisar Rp 600 juta–Rp 700 juta. Sedang
harga mesin potong buatan China berkisar Rp 50 juta–Rp 60 juta.
Namun jika modal Anda terbatas, mesin bekas bisa jadi pilihan. Rico
menuturkan, harga mesin cetak bekas buatan Jepang sekitar Rp 180 juta,
harga mesin potong bekas buatan China berkisar Rp 30 juta, mesin pond
bekas ukuran double folio buatan China adalah
Rp 25 juta dan alat pembuatan pisau pond Rp 33 juta.
Baik Rico maupun Stanliy menyarankan agar Anda memilih mesin buatan
Jerman, atau setidaknya Jepang untuk mesin cetak. Sedang untuk mesin
potong dan mesin lem dapat menggunakan mesin buatan China yang harganya
lebih miring. Pilihnya mesin yang memiliki garansi perawatan, paling
tidak selama 4 tahun.
Rico menuturkan pengalaman saat memulai Riscopack 1989 silam. "Kami
hanya membeli mesin cetak ukuran folio buatan Klaten, Jawa Tengah di
pasar loak, sedikit diperbaiki sehingga bisa dipakai dengan baik," kata
Rico.
Bisa didatangi truk kontainer
Setelah urusan mesin kelar, agenda produksi berikut yang perlu
dituntaskan pemain baru di bisnis ini adalah menyiapkan stok kertas.
Penyediaan urusan ini, idealnya, dilakukan bersamaan dengan pencarian
order. Menurut Risco, usaha kemasan tidak memliki kendala berarti dalam
proses produksi. Tetapi, pemasaran memegang peran yang sangat penting
demi kelangsungan usaha ini.
Stanliy menuturkan, kertas bahan baku kemasan mudah diperoleh dari
pabrik-pabrik kertas di Indonesia. Biasanya, kertas ini dijual dalam
bentuk lembaran yang sudah dipotong dalam ukuran tertentu. "Jadi, Anda
bisa menyesuaikan dengan ukuran yang diinginkan," kata Stanliy. Harga
kertas berkisar Rp 11.000-Rp 15.000 per kilogram. satuan kilogram.
Berkaitan dengan stok kertas ini, Anda juga harus mempertimbangkan
lokasi pabrik. Stanliy bilang, pabrik sebaiknya berada di tepi jalan
besar. Sebab, stok kertas ini biasanya datang langsung dalam jumlah
besar. "Bisa truk-truk kontainer yang mengantar kertas ini. Jadi, jalan
menuju pabrik sebaiknya bisa dilalui oleh truk besar," imbuh dia.
Setelah mengetahui perkiraan order, dan tentunya, estimasi bahan yang
dibutuhkan, rancanglah secara cermat stok kertas yang perlu dibeli.
Perhitungan cermat ini perlu karena bahan kemasan food grade tidak bisa
dibeli dalam jumlah sedikit.
Ingat pula, Stanliy bilang,
bahan baku kertas setidaknya menyedot 70% dari harga kemasan. Sisanya,
merupakan biaya untuk pembelian tinta, tenaga kerja dan operasional
lainnya.
Oh, iya, sebaiknya Anda juga menguasai soal desain kemasan. Sebab,
adakalanya konsumen akan meminta bantuan jasa desain kemasan karena
kesibukan mereka.
Tertarik mencoba?
Sumber : kontan.co.id
http://belajar-cara-membuat-website.blogspot.com/
http://tas-dompet-organizer.blogspot.com/
Thursday, April 30, 2015
Mencetak fulus dari kemasan makanan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment