Sunday, October 5, 2014

Mencicipi gurihnya laba membuat tortilla

Usaha di seputar makanan memang masih menyimpan potensi yang cukup besar. Bukan hanya menjual sajian yang siap dimakan, peluang juga terbuka bagi produsen yang membuat bahan pendukung utama sajian tersebut. Maklum, tidak semua pengusaha kuliner mampu menyiapkan sendiri sejumlah bahan setengah jadi. Beberapa di antaranya, mengandalkan pihak ketiga untuk memasok bahan-bahan itu dengan standar dan kriteria tertentu.
Salah satunya, pengusaha kuliner yang menjual kebab. Mereka tidak membuat sendiri tortilla, yang merupakan kulit pembungkus kebab. Dengan alasan lebih praktis dan efisien, pemilik gerai kebab justrumemesannya kepada produsen kulit kebab.

Lantas, dari sini, muncul peluang untuk membuat tortilla. Potensi berbisnis tortilla juga makin lebar karena bahan baku yang terbuat dari tepung terigu ini ternyata tidak hanya dipakai untuk membuat kebab. Beberapa makanan asing, misalnya Meksiko dan India, juga membutuhkan tortilla meski dengan rasa berbeda.
Di Indonesia, kebab dipopulerkan dengan kehadiran waralaba Kebab Baba Rafi sekitar tahun 2000-an. Kepopuleran Kebab Baba Rafi pun menyulut pengusaha kuliner lain untuk membuka gerai-gerai makanan yang menyajikan kebab. Tak heran, permintaan bahan baku kebab, terutama tortilla, ini tidak pernah sepi.
Vied Febriyanto, owner Tammarobah Food dari Surabaya, Jawa Timur, mengatakan, setiap bulan gerai kebab selalu bertambah. Sejak merintis usaha pembuatan tortilla pada 2004, orderan tortilla yang diterima Vied selalu bertambah sekitar 50% saban tahun. “Peluang membuat tortilla ini sangat menjanjikan karena kebutuhannya sangat banyak dan selalu bertambah,” ujar pria berusia 34 tahun ini.

Selain itu, kata Vied, produsen tortilla masih sangat terbatas. Hingga kini, setidaknya ada tiga pemain besar yang memproduksi tortilla di Jawa Timur. Ketiga pemain besar ini bisa dibilang menguasai pasar penjualan tortilla. Meski demikian, Vied juga bilang, pemain-pemain kecil juga kian bermunculan beberapa tahun belakangan.
Hal serupa diungkapkan Adityo Lakseno, pemilik Artha Food di Pati, Jawa Timur. Ia melihat potensi usaha pembuatan tortilla masih besar. Apalagi, masih banyak daerah yang belum terjangkau oleh makanan khas Timur Tengah ini. “Pemain baru masih banyak yang bermunculan,” terang dia.
Adityo memulai bisnisnya sejak tahun lalu. Sebelumnya, ia memproduksi roti bakar es krim. Akan tetapi, usaha itu tidak begitu berkembang. Kemudian ia melihat usaha produksi tortilla lebih menjanjikan dan bukan merupakan usaha musiman. “Sebenarnya saya terinspirasi oleh istri yang beli kebab hampir tiap hari, jadi saya pikir kenapa tidak ganti usaha produksi tortilla saja untuk bahan kebab,” tutur dia.

Berbeda dengan Adiyo, Vied mengawali usahanya dengan membuka gerai kebab di Surabaya. Untuk menghemat ongkos produksi, ia pun membuat sendiri semua bahan baku kebab. Dalam perkembangannya, ia justru lebih fokus memproduksi bahan baku kebab, khususnya tortilla. Pada 2005, ia memutuskan untuk tidak lagi mengelola gerai kebab dan berkonsentrasi penuh untuk memproduksi bahan baku kebab.
Di Tammarobah Food, produksi tortilla bisa mencapai 80% dari keseluruhan produksi bahan kebab. Pasalnya, Vied tidak hanya menjual tortilla untuk kebab. Ia juga menjual tortilla pada pengusaha restoran Meksiko dan India. Pembelinya sudah tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Namun Vied mengakui, permintaan tortilla masih menumpuk di Pulau Jawa, khususnya Jakarta.
Permintaan tortilla di Jakarta mencapai 50% dari keseluruhan penjualan tortilla di Tammarobah. Makanya, Vied mengklaim ia menguasai 70% kebutuhan tortilla di ibukota. Selanjutnya, permintaan terbanyak juga datang dari Pulau Kalimantan dan Pulau Bali.

Setiap hari Vied memproduksi sekitar 1.200 pak tortilla. Tiap pak berisi 20 lembar tortilla. Banderol harga berkisar Rp 15.000–Rp 30.000, bergantung pada ukuran yang rentangnya antara 15 cm–30 cm. Omzet yang didapat mencapai Rp 600 juta per bulan dengan laba bersih 10%.
Ada dua macam tortilla yang dijual, yakni tortilla krispi dan lentur (lunak). Berbeda dengan produsen tortilla lain, Vied tidak hanya membuat tortilla dengan rasa original yang asin dan gurih. Ia juga sanggup memenuhi permintaan tortilla berbagai rasa, seperti pandan, stroberi, dan zaitun.
Adapun Adityo hanya membuat tortilla krispi dan lentur dengan rasa original. Ia membanderol tiap lembar tortilla seharga Rp 15.000–Rp 24.000. Ukurannya berkisar 15 cm–
30 cm. Adityo bilang, Artha Food bisa memproduksi 10.000 lembar tortilla per bulan. Jadi dari bisnis ini ia mengantongi omzet sekitar Rp 200 juta–
Rp 300 juta saban bulan. Margin keuntungannya cukup menggiurkan, mencapai 45%.

Proses sederhana
Untuk menggeluti usaha pembuatan tortilla, tidak dibutuhkan keahlian khusus. Pasalnya, pembuatan tortilla cukup sederhana dan tidak membutuhkan teknologi yang canggih. Bahkan, pembuatan bisa dilakukan dengan tangan manusia secara manual.
Hal pertama yang harus disiapkan tentu saja standar resep tortilla. Vied bilang, untuk membuat tortilla, bahan yang dibutuhkan meliputi tepung terigu berprotein tinggi, minyak sayur, dan garam. Semuanya bisa dibeli di dalam negeri.

Selain itu, Vied juga menggunakan substitusi susu yang ia impor dari Selandia Baru. Vied menyarankan agar tidak menggunakan susu lokal karena akan merusak tekstur dan rasa. “Walaupun yang dipakai susu lokal dengan kualitas nomor satu, tetap saja menurut saya tidak akan mendapat hasil maksimal,” tegas Vied yang pernah menuntut ilmu di Amerika Serikat dan bertanya pada sejumlah chef asal Meksiko soal resep tortilla.
Ketika merintis usaha, Vied belum menggunakan mesin pencetak tortilla. Jadi semua proses pembuatan dilakukan secara manual. Karena hanya memperkerjakan tiga orang karyawan, Vied hanya keluar modal sebesar Rp 500.000. Produksinya juga belum banyak, hanya puluhan pak tortilla.

Lantaran permintaan tortilla terus bertambah, Vied lantas membeli mesin pembuat tortilla dari Taiwan. Mesin ini bisa memproduksi 300 pak tortilla dalam kurun waktu tujuh jam. Sementara, tiap karyawan hanya mampu membuat 25 pak tortilla per hari.
Dengan karyawan sebanyak 100 orang, pengeluaran terbesar Vied ada pada pembayaran gaji karyawan. Adapun belanja terbesar ada pada bahan baku, yakni sekitar 30%, menyusul pembayaran listrik dan perawatan mesin.
Di sisi lain, Adityo menggunakan produk lokal untuk bahan baku pembuatan tortilla. Akan tetapi, seluruh pembuatan tortilla sudah menggunakan mesin. Setelah dicampur menggunakan mikser berukuran besar,  adonan dipisahkan menggunakan dough sheeter. Hasilnya berupa bola-bola kecil adonan. Selanjutnya, adonan tersebut dimasukkan dalam mesin yang akan mencetak tortilla menjadi pipih dan melingkar.
Tak main-main, Adityo mengimpor mesin pencetak tortilla sampai ke Amerika Serikat. Menurut dia, mesin buatan Negeri Paman Sam itu memiliki kualitas yang unggul. Dalam satu jam, mesin tersebut bisa memproduksi hingga 1.000 lembar tortilla.

Makanya Adityo bilang, modal yang dikeluarkan untuk merintis usaha pembuatan tortilla cukup mahal. Ia merogoh kocek cukup dalam, yakni sekitar Rp 500 juta. Selain untuk membeli peralatan, modal itu juga digunakan untuk menyewa pabrik dan membayar gaji karyawan. Kini, karyawan Adityo berjumlah 17 orang. “Saya sengaja bikin pabrik di Pati supaya biaya sewa tempat dan gaji karyawan belum terlalu mahal,” ucap dia.
Akan tetapi, Adityo tidak menampik bahwa usaha ini bisa dimulai dengan modal irit. Asal proses pembuatan dilakukan secara manual. Pasalnya, mesin pencetak tortilla cukup mahal.
Adityo juga bilang, rasa tortilla yang diproses dengan mesin atau manual tidak jauh berbeda. “Perbedaan hanya ada pada hasil cetakan karena yang namanya tenaga manusia, tingkat kesalahannya lebih tinggi,” katanya. Selain itu, pembuatan dengan mesin bisa menghasilkan tortilla dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Bentuk dan ukuran tortilla pun lebih seragam.

Selanjutnya untuk strategi pemasaran, Vied dan Adityo mengandalkan penjualan via internet. Selain membuat website, Adityo juga rajin mempromosikan produknya melalui jejarin media sosial, seperti Facebook dan Twitter.
Vied menambahkan, pengiriman tortilla juga harus jadi bahan perhatian. Sebelum dikirim, tortilla dimasukkan dalam freezer selama dua hari. Jadi ketika dikirimkan, tortilla ada dalam kondisi beku. Dengan demikian, tortilla tahan selama tiga hari di luar freezer. Ketika sampai di tangan pembeli, tortilla harus kembali didinginkan dalam freezer agar bisa tahan sampai enam bulan.
Sementara Adityo memilih jasa ekspedisi yang menjamin tortilla bisa sampai ke tangan pembeli dalam sehari. Pasalnya, tortilla buatannya hanya tahan dua hari di luar freezer. Jika sudah sampai, tortilla juga harus dibekukan dalam freezer sehingga bisa bertahan selama tiga bulan.
Siap mencoba?

Sumber : kontan.co.id
http://cara-buat-website.com/

0 comments:

Post a Comment